Mesin tulis lamanya, Royal 202 yang kotor, dikeluarkan dari kolong tempat tidur. Debu tebal dan serat-serat kapuk yang rontok dari kasur usangnya, rata memenuhi permukaannya. Dan, mesin tulis barunya, Brother 850 TR, menegur setelah Royal ditinggalkan di lantai dekat kaki meja.
"Aku pernah melihatmu, dua tahun lalu, ketika aku dijinjing memasuki rumah ini. Kupikir kau terus dikemanakan. Baru nongol sekarang dengan begitu kotormu," tegur Brother dari atas meja kerjanya yang penuh buku-buku, majalah, dan koran.
"Ia tak lagi menghiraukanku setelah ada kamu. Bahkan aku dibesituakan ke kolong tempat tidurnya. Banyak yang kudengar apa yang mereka bicarakan di saat-saat menjelang tidur," jawab Royal yang selama ini tidak pernah ditutupi di kolong itu. Tutupnya telentang di atas lemari penuh kaset-kaset lama.
"Tapi tak apalah. Justru aku istirahat sepenuhnya di usia tuaku setelah dua puluh tahun penuh kerja keras."
"Aku pun kerja keras. Terus-menerus, seperti tak akan pernah ada akhirnya.""Ia pengarang."
"Ya, tentu aku pun tahu."
"Pengarang sastra Jawa."
"Ya, dengan honor yang kecil."
"Honor tidaklah penting baginya."
"O, benarkah?"
"Istrinya yang sesekali mengomel."
"Ya, itu biasa. Perempuan di mana pun sama, suka uang banyak."Keduanya mendadak diam begitu mendengar langkah kaki mendekat.
Lelaki kurus itu, yang disebutnya pengarang, menyapu Royal dengan kuas bekas hingga bersih, tapi tidak debu di bagian dalam yang tak terjangkau kuas. Pita setengah baru milik Brother dipindahkan ke tempat Royal dan digunakan mengetik beberapa kalimat sekedar ingin melihatnya lagi kemampuan kerjanya.
"Ah, payah," gumamnya kecewa melihat hasil ketikan yang telah dapat diduganya. "Dengan diservis barangkali akan agak lumayan," sambungnya.
Huruf-hurufnya sudah tumpul dan tajam sehingga lebih sering mengganti pitanya yang cepat hancur bolong-bolong. Itu pun dengan hasil ketikan yang tidak lurus lagi, bergelombang, naik-turun. Bahkan sambungan tangkai huruf N, patah. Terpaksalah N dilepas, dipindahkan ke tangkai lain yang baginya tidaklah penting (tangkai angka pecahan 1/4 ; 1/2).Barulah kemudian Brother menggantikannya, sejak dua tahun lalu. Namun karena satu hal, Royal kemudian menyambung setelah lelaki itu pergi ke belakang, "Aku akan kerja lagi. Itulah sebabnya pita baikmu dipindahkan ke tempatku. Kau akan dibawanya pergi."
"Ke mana?""Kau akan istirahat penuh di sana."
"O, tentulah menyenangkan."Brother dijinjingnya ke luar dengan langkah yang berat, sementara istrinya yang kasihan memandang dengan tangis tertahan. Namun rumah gadai yang didatangi membuatnya terkejut ketika juru taksir hanya mematok Rp 50.000,- dengan bunga 1,75 persen per 15 hari. Keheranan, tak habis pikir, bagaimana barang yang masih sangat mulus, yang dibelinya Rp 400.000,- dari toko, taksiran gadai maksimal hanya Rp 50.000,-. Tak lebih serupiah pun, apalagi Rp 100.000,- seperti yang dimintanya. Terpaksa dibawanya ke rumah gadai lain, naik bis lagi dan lebih terkejut lagi, karena tak laku."Elektro, Pak, mau. TV, VCD, tape atau radio."
"Memangnya kenapa mesin tulis?" sahutnya kesal.
"Maaf, Pak." Juru taksir beralih melayani seorang wanita yang menyodorkan dua potong kain panjang. Dua potong kain panjang yang telah usang itu laku digadaikan. Hal itu menjadikan Brother mengumpat dan diceritakan sedikit pengalamannya itu kepada Royal."Juru taksir itu menghinaku. Memandangku rendah, teramat rendah, sepertinya aku ini rongsokan yang tak bernilai. Masih lebih terhormat kain usang yang berbau penguk, terlayani."
"Kain panjang, seperti halnya sendok, piring, mangkuk, akan cepat laku dilelang jika tak diambil oleh pemiliknya. Itulah barangkali pertimbangannya hanya menerima barang-barang yang dibutuhkan masyarakat luas. Kita hanya diminati oleh orang-orang tertentu saja," jawab Royal menjelaskan.
"Tapi aku lebih senang kau kembali ke rumah daripada menganggur di sana."
"Ya, tentulah begitu maumu, agar kau tak kerja lagi."
"Kau masih muda, jangan menyia-nyiakan waktumu. Menganggur tak membuatmu berjasa dalam kehidupan," sahut Royal.
"Kerja dan kerja, itulah nyala semangatku ketika aku masih muda perkasa seperti kamu. Bahkan sekarang pun, jika memang terpaksa, aku masih sanggup melakukannya, jika ia mau menerima aku apa adanya. Ya, seperti inilah sekarang, sudah tidak tegak lagi, seperti orang renta yang jalannya bergoyang. Eh eh eh eh eh eh…" Royal terkekeh, lalu menyambung, "Banyak karya baiknya yang dikerjakan dengan jasaku. Dan itu membuatku bahagia, jadi kenangan indahku."Royal diam setelah itu. Brother pun tak bergeming karena lelaki itu, pengarang yang guru SD itu, menghampirinya, memindahkan pita setengah baru ke tempat Brother seperti semula.
"Seharusnya kau memang tetap tinggal di rumah. Ada setiap saat seperti cangkul seorang petani yang tak pernah lepas dari tangannya," gumamnya menepuk Brother yang bodinya terbuat dari ebonit warna kombinasi hitam dan putih.
Teringat kemudian ia kepada anak bungsunya yang kuliah di Unibraw, Malang, yang kemarin lusa telepon minta uang segera Rp 250.000. Sisa persediaan uang belanja Rp 150.000 terlibas untuk kebutuhan anaknya itu. Istrinya masih kelabakan mendapatkan Rp 100.000 kekurangannya pinjam uang tetangga, setelah tak diperolehnya dari pegadaian.
"Kita lebih sering kesulitan uang, sekarang," kata istrinya yang telah berdiri di belakangnya.
"Yah, beginilah. Rambut pun dicukur jika laku dijual untuk yang kuliah."
"Belum lagi untuk seterusnya," lanjut istrinya menyebut anaknya yang baru semester satu.
"Masihkah kau larut menekuni sastra Jawa-mu dalam keadaan seperti ini?" Suaminya tak bersuara, menatap dua mesin tulisnya.
Biasanya, jika istrinya mencerca imbalan kepengarangannya yang kecil, si suami jika tidak sedang malas bicara, menjawabnya dengan jawaban yang sama, bahwa sastra Jawa yang merana, yang kembang-kempis tinggal bergantung di tiga majalah yang ada, bukanlah landang subur untuk mendapatkan honor yang lebih. Sebaliknya justru menuntut pengorbanan para pengarangnya untuk ikhlas berkarya tanpa mempersoalkan imbalan. Siapa lagi yang menjaga kelestariannya jika bukan orang Jawa?"Dan kau akan terus menjaganya dalam keadaan kita tertekan seperti ini? Tulislah dengan bahasa lain yang honornya sekian kali lipat lebih gede untuk kelancaran kuliah anak kita," tegas istrinya sambil berlalu.Suaminya bangkit, mengikuti istrinya. Meminta uang untuk segera ditransfer ke rekening anaknya di Malang."Istrinya memang mata duitan, kaudengar sendiri," celoteh Royal kepada Brother.
"Untunglah suaminya tak pernah mempedulikan. Jiwa-raganya, pikiran dan perasaannya telah menyatu, dicurahkan sepenuhnya pada sastra Jawa."
"Istrinya benar untuk sekarang. Aku mendukung."
"Apa maksudmu?" Royal terkejut.
"Kau mendukung istrinya yang menyeretnya menjauhi sastra Jawa? Aku tak setuju!" seru Royal yang sepanjang hidupnya bergelut akrab dengan sastra Jawa.
"Tiga puluh tahun lebih ia menekuninya. Dua puluh tahun denganku, dan sepuluh tahun sebelumnya, dengan Royal 201, kakakku. Datang kau kemudian."
"Jika itu benar, artinya, ia telah menjadi orang Jawa yang baik di bidangnya. Jika kemudian ia ingin belajar menjadi orang Indonesia yang baik pula di bidang yang sama, apa salahnya?""Itu pengkhianatan."
"Tugasmu sudah selesai. Akulah sekarang yang menghadapi kenyataan dengan kerja kerasku."***