kita adalah bagian dari bola
ditendang-tendang mengarah ke gawang
membentur mistar, terpental, berputar-putar
berebut, adu sikut
menghantam betis
wasit tak digubris
yang penting lawan tergilas habis
pemenang pesta riang
suporter tak diundang
bola pun tersingkir
setelah pertandingan berakhir
jika lagi-lagi masih terus begini
seperti tak berarti
masihkan kita perlu membentuk bola lagi
untuk sebuah tradisi, lima tahun sekali.
(Itu puisi yang sangat sederhana, yang agar mudah dibaca oleh orang-orang desa. Tapi tetangga sebelah kiri saya,yang jadi anggora Dewan, marah membacanya. Ini puisi sampah, nggak mendidik. Lima tahun sekali, Pemilu,pilihan Presiden, sudah diatur oleh perundang-undangan negara Demokrasi. Nggak baik puisi ini, provoktif,bantahnya. Kang Min, tetangga sebelah kanan saya, menyahut : Apa kata sampeyan tadi? Dhemokrasi kata sampeyan? Bukan demokrasi,Mas. Yang benar : dhemukrasi. Sing gedhe lemu, sing cilik dikerasi.*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar