Sebelum Gembong diajukan ke pengadilan, Gembong pernah akan ditembak oknum bersenjata gara-gara ia mengusik pohon mangganya. Bukan mencuri buahnya, lantas diadili. Bukan. Tak ada sangkut-pautnya. Tapi benar adanya bahwa dua kejadian itu erat dengan watak Gembong yang pemarah.Jika sedang marah luar biasa, kepala Gembong cekot-cekot jika tidak meremukkan sesuatu. Gelas piring dibanting, mangkuk cawan jadi korban. Atau apa pun yang berada di dekat tangannya saat kemarahannya menggelegak, dibantingnya. Sepertinya baru terpuaskan setelah itu. Kepalanya pun menjadi ringan. Istrinya yang sangat kesal, berulangkali memperbaharui barang-barangnya, pernah mencercanya sebagai pemborosan.
"Gelas piring masih lebih murah daripada aku telanjur ambruk, stres, masuk rumah sakit seperti dulu itu. Habis biaya ratusan ribu," jawab Gembong.
Opname seminggu yang pernah dialaminya, menurut Gembong, akibat dari kemarahan-kemarahannya yang hanya ia pendam. Tak tersalur, bagai genangan air yang mampat, menjadi kubangan busuk penuh kuman yang merongrong kesehatannya. Dada sesak, kepala pening cekot-cekot, nyeri menusuk, rasa kepala bagai dibor.Dan marah jugalah Gembong saat memasuki lorong Murai di lingkungan RT-nya, di wilayah kota kecilnya. Kepalanya nyaris membentur cabang pohon mangga yang menjorok ke lorong. Melintang separoh lebar lorong.
"Warga masyarakat setempat yang saban hari melintasi pasti mengumpat, merasa terganggu," kata seseorang menghampiri Gembong.
"Hanya mengumpat saja?"
"Ada yang sudah lapor Ketua RT."
"Tindakanlah yang penting dalam hidup ini."
"Apa lapor Ketua RT bukan tindakan?"
"Potong saja. Itulah tindakan yang lebih nyata, terlihat hasilnya seketika. Tidak hanya menunggu-nunggu," cetus Gembong.Orang pun berdatangan. Tapi tak ada yang menggunakan tangannya selain hanya di mulut dan di mulut. Gembong seoranglah yang kemudian membereskan setelah ia minta disiapkan parang. Gembong jugalah yang tegak menghadapi ketika pemiliknya muncul, marah-marah. Yang lain diam, bahkan beberapa orang di antaranya terus ngeloyor pergi.
"Bajingan! Ini pohon milik orang!" kecam oknum berkumis tebal, pemilik pohon. Tersinggung, merasa direndahkan. Matanya melotot, bola matanya seolah keluar.
"Jika merasa jadi pemiliknya, kenapa tak tahu juga cabang ini mengganggu jalan umum? Lalu siapa yang bertanggung jawab jika ada kepala bocor nabrak cabang ini?!" balas Gembong, darahnya berdesir tertusuk umpatan kasar. Kepalanya mulai cekot-cekot, matanya memerah, bibirnya bergetar oleh kemarahan yang memuncak. Parang tajam berkilau masih di tangannya.Parang tajam itu yang barangkali menciutkan nyali lawannya, menjadikan oknum tersebut bergegas mengambil pistol. Namun istrinya segera merebut sebelum menimbulkan petaka yang menyulitkan dirinya.
Sesaat kemudian, sebelum Gembong berlalu melampiaskan kemarahannya dengan menebas-nebas cabang mangga, dibuangnya parang tersebut dengan menyumpahi orang-orang yang disebutnya pengecut.Meski selamat dari ancaman pistol, namun umpatan "bajingan" itu melukai hatinya. Mungkin sepanjang hidup ia tak akan pernah melupakannya karena umpatan bajingan hanya patut disemburkan kepada pencuri, penodong, perampok, penipu, dan sejenisnya.Koruptor pun patut mendapat umpatan bajingan.
Itulah yang kemudian dilakukan Gembong ketika ia muak, marah menatap oknum koruptor di depan Bravo, swalayan di kotanya.
"Bajingan kau! Maling! Merampok uang rakyat! Tega-teganya mencaplok uang orang miskin! Bajingan tengik!" Satpam Bravo yang melihat dan mendengar jelas akan hal itu menjadi saksi yang memberatkan Gembong di pengadilan, terdakwa pencemaran nama baik.
Tapi orang yang disebutnya koruptor, Drs Sumpono, Kepala Dinas Instansi Pemda, tak pernah hadir dalam sidang-sidangnya. Ia diwakili oleh pengacaranya.Saat ditanya hakim, Gembong tak menyangkal dakwaan jaksa penuntut umum dan keterangan saksi. "Saya sebagai rakyat, apalagi rakyat kecil, wajar kalau marah, Pak Hakim. Uang rakyat, dana untuk pengentasan kemiskinan, dirampoknya. Melihat tampang tikusnya, saya muak, marah, langsung kumaki dia."
"Dari mana kau tahu dia korupsi?"
"Bahkan rasanya ingin kuremukkan mobilnya, ketika itu. Tentunya mobil itu dibelinya dari uang rampokan," lanjutnya berapi-api."Dari mana kau tahu dia korupsi?""Dari koran, Pak Hakim."
"Berita koran bukan alat bukti kesalahan seseorang. Bisakah kau buktikan bahwa benar dia korupsi?"
"Huuuuuuu…," seru pengunjung serempak.
"Gembong itu orang apa kok diminta membuktikan. Para penegak hukumlah yang harus jujur melakukan tugasnya." Dok! Dok! Palu hakim mengingatkan massa pengunjung untuk tidak mengganggu jalannya sidang.Lanjut Gembong kepada hakim, ia hanyalah mengikuti berita koran. Jika koran-koran tersebut salah memberitakan, koran-koran itu seharusnya dituntut juga. Bahkan yang pertama kali dituntut sebelum dirinya melontarkan makian. Makian di depan Bravo hanya didengar beberapa orang saja, sedangkan berita koran tersebar lebih luas. Kenapa tidak? Kenapa hanya dirinya yang dituntut?
Massa pengunjung yang memberi dukungan moral kepada Gembong riuh bertepuk tangan. Hakim kembali memukulkan palunya.Para wartawan mengejar kasus Gembong yang menjadi menarik karena terkait dengan berita besar yang pernah mereka tulis. Tentang raibnya uang lima ratus juta, dana pengentasan kemiskinan diselewengkan oleh oknum pemda yang dihujat Gembong itu.
Nasib Gembong akan diputuskan hari ini. Massa pengunjung mulai berdatangan. Juga para wartawan. Ada juga pengunjung yang berceloteh kesal, "Nama baik mana lagi yang dipertahankan itu? Nama baiknya kan sudah kecebur jurang sebelum Gembong menyemburkan makiannya?"
"Makanya, oknum itu merasa senang begitu ada orang yang menghujatnya. Bisa dijadikan tunggangan untuk mengambilnya lagi dari dasar jurang," sahut yang lain. "Jika Gembong kalah, dan saya yakin tak akan menang, arti kebalikannya secara hukum adalah, nama oknum itu benar-benar baik. Namanya masih baik, tidak tercoreng, kok dicemarkan. Kan begitu?" lanjutnya beranjak menuju ruang sidang setelah pintunya dibuka petugas.
Gembong, seperti sidang-sidang terdahulu tetap tegar, tak menunjukkan kemurungan. Wajahnya yang persegi, leher kuat dengan matanya yang tajam, menampakkan watak keras dan keberaniannya menghadapi risiko. Dalam sidang terdahulu, lebih dari satu kali ia menyatakan kepada majelis hakim tentang akibatnya jika ia hanya menahan kemarahannya. Dikatakan pula ia pernah ambruk masuk rumah sakit. Dadanya amat sesak, kepala serasa pecah jika tidak dengan menendang-nendang, membanting-banting, meremukkan sesuatu untuk pelampiaskan luapan kemarahannya. Dengan cara itu ia menjaga kesehatannya. Tidak ada lagi dendam kemarahan yang menggumpal pada dirinya setelah ia salurkan.
"Itulah, Pak Hakim, sebabnya, kenapa dia kumaki kotor. Selain karena dia memang kotor, agar dada dan kepala saya tidak telanjur sakit setelah kutumpahkan kemarahan saya dengan mengumpatnya." Namun ulah Gembong mencaci-maki seseorang, mempermalukan seseorang di depan umum adalah perbuatan menista, sengaja merusak kehormatan atas nama baik seseorang dengan jalan menuduh. Gembong dinyatakan bersalah, dan dijatuhi enam bulan hukuman percobaan.
Pemberitaan koran terhadap Drs Sumpono yang menjadikan pegangan terdakwa, kata hakim, masih merupakan praduga tak bersalah, karena secara hukum, seseorang baru dapat dinyatakan bersalah setelah terbukti kesalahannya dalam sidang pengadilan.
"Tak apa, Mbong, hanya hukuman percobaan," hibur temannya sesama makelaran barang-barang bekas, sekeluar dari sidang.
"Hati-hati sajalah selama enam bulan ini. Melanggar hukum sedikit saja, tanpa dengan melalui sidang lagi, kau langsung dijebloskan ke dalam bui. Jaga mulutmu."
"Ya."
"Tahan kemarahanmu, meski penyelewengan terjadi di depan matamu."
"Di depan mata, bukanlah amat jelas? Tidak. Aku tidak akan membiarkannya. Diam akan membuatku sakit."
"Tahanlah. Enam bulan setelahnya, terserah kau. Pengalamanmu terseret ke pengadilan ini ya karena mulutmu. Sungguh, tak ada manfaatnya. Aku lebih terkesan contoh baikmu di lorong Murai itu, Mbong." *** (Dimuat di Jawa Pos/01/12/2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar